Prosa



Tempat surya merah patah itu telah berubah. Bukan lagi pelupuk nanar pengasuh biasan warna pada lembayung awan. Kesumbanya pindah bersarang di hati, kini

Bagaimana tidak, ialah sebuah persaksian dari takaran waktu yang membebani tabah. Perlahan temaram mengumbar samar-samar tanya. Di mana bayang-bayang tak bosan meningkahi kelopak paling andai untuk mewartakan rindu serupa sajak puisi

Bagaimana lagi harus melafalkannya, ini nyata memampang jelaga. Lindap sudah inang asa sebagai kulum dari pilin gemetar, meminang penantian. Kelu pun merisau sebelum ungkap dapat memeluk anak-anak rindu sebagai hangat paling pagut

Agghrt, sekiranya adakah malam mampu memperdayakan iftitah hati yang bisa menterjemahkan setiap kerling, yang dilipat kornea penuh keabu-abuan, juga senyum yang ditikam rintih?

Mungkinkah rindu 'kan selalu seperti pungguk, dikelabui jarak, terus nantikan purnama tanpa jeda. Tibanya pada gembalaan tautan, tak kenal pemusim -- yang diam-diam rela dipermalukan gugur tahun tanpa pernah bertanya mengapa

Sepenyuntingnya itu tinggalah buai belaka, semuanya luruh marapuh. Netra sekadar jadi pemantik mamahan warna yang dibinarkan fajar dari para pemimpi

Lampung, 06 Juli 2019

Komentar